April 25, 2012

Bertahan Hidup, Lagi?!

Hampir dua tahun, ya, 24 bulan, 108 minggu, 730 hari, 17.520 jam...
Kala itu, kuingat, betapa bahagianya diriku, ya, kala itu...
Kala itu, rasanya diriku terlalu naif, terlampau silau dengan frase "mereguk asa dan masa depan"
Ya, memang hanya kala itu... Aku tak tahu apa yang akan menjelang di belakang...

Tahun pertama, tahun di mana harusnya aku mengerti "Siapa Aku?" sebenarnya
Tahun-tahun di mana aku masih merasakan semua kebahagiaan semu yang ada
Memang, semua itu tak luput dari intrik, lika-liku, kebohongan, dan kemunafikan
Namun, tampaknya semua itu masih bisa kulalui dengan penuh tangis dan keluh kesah

Adakalanya, aku bisa melupakan semua itu, dengan semua pelarian yang kulakukan
Sayang, hidup itu memang tidak kekal, anicca kata Sang Buddha
Pun itu yang kurasakan, pelarianku hanya berlangsung sementara
Karna setelah itu, aku kembali ke kehidupan, yang selalu kuanggap tak sesuai dengan mauku

Aku, manusia, yang penuh keegoisan, kata "teman-teman"-ku
Pun aku, yang selalu tidak bisa berkata tidak, untuk membantu "teman-teman"-ku
Kontradiksi atau aku yang bodoh?! Entahlah, bagiku, mungkin ini lika-liku hidup
Bukannya aku tak menerima kata itu, EGOIS, tapi tak ada satupun yang menjelaskannya padaku
Di sisi lain, aku melihat banyak yang jauh lebih egois daripada aku...

Atau mungkin bagian ini semakin menegaskan keegoisanku??
Sekali lagi, aku tetap tak tahu....

Tahun kedua, aku bahkan masih belum mengenal diriku
Tapi, aku semakin mengenal karakter lingkunganku
Dan sedihnya, semakin aku mengenal karakter itu, semakin aku tersiksa dalam drama ini
Tapi, aku tak tahu dengan siapa atau pada apa aku bisa berbagi semua ini

Tahun ini, di mana aku masih tetap terbelenggu, tak bisa mendobrak tradisi
Aku yang sesungguhnya kontemporer, terjebak dalam hidup konservatif dan kaku serta penuh arogansi
Aku takut, aku tak bisa mengepakkan sayapku, melanglang buana ke seluruh pelosok dunia
Aku takut bahwa aku selamanya tak bisa terbebas dari jeratan nostalgia
Nostalgia yang terlalu manis, di mana dulu hidupku tak selirih ini

Tak ada yang tahu, hidupku juga penuh stressor-stressor, kerikil-kerikil hidupku sendiri

Yang tak mampu, atau tak berani kuungkapkan pada dunia
Tak heran, semua mengira, aku bahagia secara superfisial, tapi remuk dan lemah pada profundanya
Padahal, aku remuk, retak, patah arang kadang-kadang
Tapi, aku hanya ingin tetap dalam positif,

Apakah mungkin hanya aku yang kurang bersyukur akan hidupku?
Sekali lagi, aku tetap tak tahu... 

Tapi, tetap aku titikberatkan pada kalian, pada seluruh dunia
Bahwa aku tetaplah seorang manusia, bukan malaikat, bukan pula Tuhan
Aku punya ambang batas
Ambang batas kesabaran, ambang batas kesedihan, ambang batas keceriaan
Aku pun bisa marah, menangis, atau tertawa dalam tangis
Salahkah jka aku berharap,

Jika. Aku. Ingin. Bahagia. Sekali. Ini. Saja?!

Kalau  saja ambang batasku sudah terlewati
Mungkin nasibku akan sama seperti glukosa yang kehilangan pembawanya
Terbuang sia-sia dalam buangan tubuh ini
Entah, apa tindakanku nanti? Yang jelas, aku masih punya akal dan tak ingin hanya terbuang sia-sia

Untuk itulah, aku akan tetap bertahan hidup
Menunggu 12 bulan, 54 minggu, 365 hari, 8.760 jam selanjutnya
Dengan penuh harapan
Semoga semuanya akan jauh lebih indah
Dan satu hal,

Aku bisa semakin mensyukuri semua bagian kehidupanku ini....
Semoga...