December 9, 2014

Bahagia itu Sederhana

Bahagia itu sederhana,
Sesederhana kita tak perlu memikirkan apa yang orang pikirkan tentang kita
Sesederhana kita sadar kalau kita tak mungkin bisa membahagiakan semua orang
Sesederhana saya bisa nonton bioskop sendirian
Sesederhana saya bisa tidur cukup di tengah-tengah himpitan jadwal jaga malam
Sesederhana kita bisa membantu satu orang hari ini
Sesederhana kita bisa membuat satu orang tersenyum hari ini
Sesederhana saya bisa melihat orang-orang terkasih hari ini
Sesederhana kita bisa bersyukur atas nikmat hari ini
Sesederhana saya sadar kalau saya masih punya orang tua lengkap, yang harus saya buat bangga
Sesederhana kita masih punya teman di dunia ini, walaupun cuma satu, yang penting tulus

Sesederhana....
Kita menciptakan pikiran bahagia itu di dalam pikiran kita.

Bahagia itu bukan datang dari luar, bukan datang dari barang, uang, harta atau tahta,
Tapi dari dalam diri kita sendiri, dari pikiran, yang membiarkan diri kita untuk mereguk kebahagiaan...

Bahagia itu sederhana,
Sesederhana kita tahu bahwa di balik semua kebahagiaan itu pasti ada sisi menderita
Karena dunia ini penuh fatamorgana

Tapi ternyata, kita tetap bisa bahagia
Sederhana.

October 29, 2014

Siklus Hidup, bukan Siklus Krebs

Dalam kepercayaan beberapa agama, manusia dikatakan sebagai makhluk ciptaan yang paling tinggi kodratnya, di antara semua makhluk hidup lainnya. Dibentuk secara eksklusif dari peperangan antara berjuta-juta sel sperma, mengarungi asamnya liang vagina, hingga akhirnya hanya satu yang mampu menembus lapisan-lapisan pada sel telur. Dengan kata lain, mereka berjodoh dalam lika-liku beratnya persaingan "cinta".

Setelah proses pembuahan ini terjadi, kedua sel ini berpadu, membagi bawaannya sama besar, menumbuhkannya dengan cinta, membelah diri mereka dan akhirnya terbentuklah seonggok janin yang tertanam dalam rahim sang perempuan, tempat perpagutan asmara itu terjadi.

Janin ini dalam perjalanannya terbentuk begitu unik dan hebatnya, ia sebenarnya adalah jaringan asing (re: parasit) bagi tubuh sang inang, tapi tak serta-merta dibunuh layaknya Mpu Gandring yang dibunuh dengan keris buatannya sendiri. Dengan mempengaruhi pula kerja tubuh sang ibu, ia menyerap semua yang dicerna oleh sang ibu dan memulai semua proses perkembangannya selama 38-40 minggu dalam kolam ketuban, berenang-renang. Jadi, tak heran bila orang-orang berkata, "Surga ada di bawah telapak kaki ibu..." Karena pada awalnya, kita sudah berada jauh di atas surga, di dalam pelukan rahim ibu saat semua yang kita butuhkan tersedia di sana.

Setelah ia lahir dengan susah payah, baik dengan eranan sang ibu ataupun sayatan pisau operasi, parasit ini seperti kado yang indah buat semua perempuan di dunia, melebihi semua pesta sweet seventeen yang dilaksanakan saat sekolah menengah dulu, kemudian kita menyebutnya bayi, prolog kehidupan manusia di dunia luar.

Dari sini, kita belajar betapa sulitnya mencari kebutuhan (baru kemudian pada saat dewasa kita belajar ada yang namanya toserba atau toko serba ada, yang sebenarnya tidak lengkap karena jodoh tak dijual di sana) di luar kolam ketuban. Kita harus mencari puting susu ibu untuk sekedar mengenyangkan perut dan meminta kekebalan tubuh (Bukan! Bukan Ilmu Debus seperti yang kita tahu di Banten). Dari sini pula, kita belajar bahwa hidup kita tak akan mudah, Bung! Perlu usaha untuk menggapai segalanya dan ada saatnya kita menangis karena tak semua yang kita butuhkan bisa kita dapatkan.

Bila kita renungkan, mungkin ini adalah fase kehidupan paling primitif yang pernah kita rasakan. Tapi, fase hidup ini adalah fase ketenangan hakiki, saat ego diri merupakan tujuan utama dalam hidup. Senang saat kenyang dan sendu saat syahdu.

Jadi, apakah bukan berarti saat kita menjunjung ego diri, kita akan berbahagia secara paripurna? Jawabannya, bisa ya, bisa tidak.

Dulu, kita mungkin bisa egois lahir batin karena semua perhatian tertuju pada kita dan tak banyak kewajiban yang kita lakukan untuk semua hak yang kita dapatkan. Tapi, seiring berjalannya kehidupan, kita mungkin mengenal namanya keadilan dan keseimbangan. Di mana jumlah atau bentuk hak yang kita dapatkan, sesuai dengan usaha dan kewajiban yang telah kita lakukan.

Setelah fase ini, kita mulai disusupi dengan semua paham yang mampu membuat sinaps-sinaps otak kita berkembang, membuat jembatan-jembatan antara satu sama lain untuk mengirimkan loncatan listrik dalam sel otak kita (mungkin ini sebabnya kenapa pikiran selalu menjadi sumber kekuatan dan juga masalah bagi kita, terlalu sering berloncatan dan terlalu cepat bekerja). Kita mengenal sekolah dan kursus, kita mengenal teman, kita mengenal musuh, kita mungkin juga mengenal cinta. Kita mulai mengetahui bahwa, "Hey, bukan kamu saja yang ada di dunia ini! You're not the only special one..."

Di sini kita belajar apa itu berbagi, tapi kita juga belajar bahwa tak semua orang mampu berbagi. Tak semua orang bisa hidup dalam kebersamaan. Rebutan mainan, kolam bola, atau pun sisir Barbie bisa terjadi di sini. Yang menang, senang. Sebaliknya, yang kalah, hidup dalam gundah. Hal tersering setelah itu? Berlari menuju inang utama kita, ibu. Kita sering sebut ini sebagai fase anak-anak.

Selanjutnya, fase remaja, di mana godaan pencarian jati diri layaknya Biksu Tong mencari Kitab Suci ke Barat meluap-luap. Zat aktif bernama hormon mulai bergejolak dan kita mengenal apa itu seksualitas. Cinta bukan lagi hal tabu yang diperbincangkan, tapi hal yang patut kita perjuangkan. Tapi, itu semua bukan hanya tentang bagaimana menegakkan batang kelamin ataupun membasahi semua liang sanggama semata, tapi juga bagaimana kita bisa merasa nyaman bila ada di dekat orang yang kita cinta, selain ibu dan ayah.

Kelainan yang sering terjadi di sini? Manusia-manusia yang masih terlalu nyaman untuk melepas fase hidup sebelumnya, mereka masih mau menjadi primadona bagi lingkungannya, masih mengedepankan egonya, merekalah yang kita sebut kekanak-kanakan.

Dari sini kita mulai belajar bahwa waktu terus berputar ke depan, tanpa peduli apa yang sudah ia tinggalkan. Kita mulai merasa semakin memiliki kewajiban yang bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk keberlangsungan hidup manusia lain. Tapi, ego diri juga meningkat dan keinginan mencari jati diri semakin kuat (semacam apakah saya keturunan Siluman Babi ataukah saya punya kekuatan gaib seperti Power Ranger). Kita juga belajar apa yang kita sebut sebagai proses eksplorasi dan eksperimen sampai kita mengetahui percobaan mana yang memberikan hasil terbaik bagi kita. Kita mulai belajar tentang peng-eksklusif-an diri, misalnya dalam jurusan kuliah, dalam memilih kekasih, dsb. Mungkin kita sudah tahu bahwa Tuhan menciptakan Adam atau Hawa untuk kita di dunia.

Lalu, fase dewasa, fase terkompleks dalam hidup tapi juga fase termembosankan. Setelah menentukan pilihan dalam fase sebelumnya, kita akan menuai hasilnya di sini, mungkin hidup berputar-putar dalam lingkaran setan atau hidup seperti layangan yang entah dibawa angin ke mana. Di sini, semua otak kita diperas untuk memikirkan banyak hal yang sebenarnya tak begitu perlu dipikirkan.

Tapi, ada hal indah yang mungkin bisa dilakukan di sini, bermimpi dan berusaha mewujudkan mimpi. Kita mungkin sudah belajar untuk bermimpi sejak kanak, menjadi Cinderella yang dinikahi pangeran tampan atau menjadi Jason, si Power Ranger merah. Tapi, mimpi di sini beda, banyak mimpi dalam realita dan yang utama, berusaha mewujudkan semua mimpi yang ada.

Yang sering terjadi? Kelebihan mimpi dan/atau kekurangan usaha (I've often feel this thing, but unfortunately I choose to have more and more dreams with less effort, poor me!) Tapi, tak ada salahnya bermimpi karena mimpi adalah salah satu kekuatan paling kuat di dunia, buah lamunan dari pikiran.

Di sini kita juga mungkin belajar perputaran roda hidup yang sering disalah-artikan sebagai ketidakadilan kehidupan. Mungkin kita seringkali melihat bagaimana orang-orang jahat hidup berkecukupan dan penuh suka, sementara banyak orang baik yang hidup dalam belaian api neraka. Tapi, sudahlah, mungkin saja hukum karma sedang berlaku. Saat semua karma baik mereka berbuah, mereka panen dan ada di atas roda. Sebaliknya, vice versa. Sisi positifnya? Sebenarnya tidak ada manusia yang jahat mutlak di dunia ini, syukurilah itu.

Lalu, kalau menurut semua Ilmu Biologi, di sini adalah fase terbaik untuk mewujudkan tujuan utama hidup manusia, bereproduksi. Entah kenapa fungsi hidup ini ditekankan secara maksimal, tapi rasanya ini dipengaruhi paham Hitler dan chauvinisme, di mana manusia tidak mau hilang dari peradaban. Padahal, banyak manusia lebih sering menimbulkan kekacauan, bukan? Tapi memang, jika proses ini tidak dilakukan, mungkin siklus hidup ini tidak akan sirkular memutar, tiada prolog, semuanya epilog.

Terakhir, fase tua dan lenyap. Tidak ada yang tahu tentang fase ini, kenapa fase ini ada, kenapa kita harus lenyap jika awalnya kita diciptakan, kenapa kita diciptakan untuk bertahan hanya untuk beberapa waktu tertentu. Tapi rasanya, ini adalah fase istirahat hakiki, di mana kita lelah dengan semua drama dan elegi kehidupan, di mana kita telah selesai menjalankan tugas hidup kita, di mana lilin telah habis sampai ke dasar sumbunya. Semakin kita mencari, semakin membuat kita menyadari, bersyukur adalah hal terbaik untuk menghargai itu semua. Mencari obat anti kelenyapan itu bukan proses seperti membalikkan telapak tangan, mungkin kita butuh lenyap sebelum kita tahu bagaimana agar kita tidak lenyap.

Walaupun dalam kelenyapan, muncul banyak fokus-fokus kehidupan baru di dunia ini dengan jalur-jalur dalam peta yang mungkin bisa sama ataupun berbeda dengan yang sudah lenyap sebelumnya. Tapi, seperti kata sinema elektronik di Indonesia, kesamaan itu hanyalah fiktif belaka.

Fase-fase inilah yang membuat hidup kita itu tidak sirkular murni, mungkin bentuknya iregular seperti Entamoeba histolytica, dengan rambut-rambut getar di sekelilingnya. Fase hidup kita tak seperti Siklus Krebs atau siklus biokimia lainnya, yang memutar-mutar selama ada pasokan bahan utamanya. Beginilah hidup, yang harusnya saya (dan mungkin kita) syukuri setiap harinya. Walaupun dengan problema yang ada, rasanya hidup tak lengkap dan tak sempurna tanpa ada drama. Tapi, semakin banyak drama yang kita buat, semakin banyak tenaga yang harus kita produksi, untuk mengimbangi semua goncangan-goncangan dalam hidup.

Akhirnya, berpikir positif mungkin bisa menjadi andalan karena kita tahu loncatan listrik dalam otak itulah yang memberikan tenaga dalam hidup kita, seperti generator yang digerakkan oleh aliran air terjun untuk menghidupi ribuan warga desa.

Entahlah, ini hanya kontemplasi belaka dari seorang manusia.


Ditulis dalam kebimbangan dan kegundahan akan hidup dalam berbagai aspek kehidupan,
Dipengaruhi oleh rotasi ilmu kesehatan perempuan dalam kerja klinik,

Eka Satya Nugraha

July 14, 2014

Cinta? Tuhan?

Hey, bloggie! Long long long time no see... Haha, rasanya sudah sekian abad lamanya gak menyentuh blog ini and I miss it for sure...

Sebenarnya sih lagi gak ada ilham buat nulis apa-apa di sini, tapi kebetulan beberapa hari terakhir ini lagi baca buku dan semalam ketemu satu bagian yang bagus, jadi sepertinya sayang kalau gak dibagi-bagi di blog :)

Bukunya buku lama sih, berjudul Madre, karyanya Dee. Buku yang diterbitkan kira-kira tahun 2011 ini berisikan tigabelas prosa ataupun puisi dari Dee dan sudah tersimpan penuh debu di meja belajar sejak saya beli.

Cerita utamanya berkisah tentang Madre, sebuah adonan biang roti sourdough yang menjadi Ibu bagi roti-roti dari sebuah toko roti tua, Tan de Bekker... Cerita ini berkisah tentang sebuah asimilasi unik dari kultur masyarakat yang tertuang secara ajaib dan penuh kejutan tanpa prolog, tapi sedikit banyak menghadirkan akhir yang bahagia, saat kita bisa menerimanya dengan lapang dada. Tapi, bukan cerita ini yang menggelitik sukma saya kemarin malam...

Ada sebuah prosa pendek, berjudul Semangkuk Acar untuk Cinta dan Tuhan, yang dibuat tahun 2007. Kisah ini nampaknya sebuah refleksi yang dialami Dee sendiri, saat ia di-bombardir dua pertanyaan klise, "Apa itu cinta?" dan "Apa itu Tuhan?"

Dikisahkan kalau tokoh cerita ini sempat menjelaskan jawaban dua pertanyaan itu dengan sensasional dan memukau audiens yang melihatnya, tapi ia pun kembali terpaku saat seorang wartawan kembali mempertanyakan dua tanya ini.

Alhasil, sang tokoh mencoba cara jawab baru dengan melibatkan si penanya, dengan teknik mengupas bawang merah dari semangkuk acar setelah memberikan prolog bahwa jika ingin tahu tentang apa itu Tuhan, kita perlu tahu apa itu cinta dan saat kita tahu apa itu Tuhan, kita pun dengan sendirinya tahu apa itu cinta, mereka bisa diungkapkan bersamaan, sekaligus.

Dan inilah jawaban kedua pertanyaan itu, menurut kisah ini:

Setelah sesi mengupas bawang merah dengan kuku selesai, dengan berlinangan air mata, yang jatuh bukan karena duka atau suka, sang tokoh berkata,

"Inilah cinta, inilah Tuhan. Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti disengat, dan tetap kita tidak menggenggam apa-apa."

Sambil terisak, yang bukan karena haru bahagia atau haru nelangsa, sang tokoh pun berujar kembali,

"Itulah cinta, itulah Tuhan. Pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan, bukan tujuan. Pertanyaan, yang sungguh tidak berjodoh dengan segala jawaban."

Dan kemudian, wartawan itu meng-konversi-kan jawaban itu menjadi ilustrasi semangkuk acar bawang dalam majalah tempat Ia bekerja dan orang2 pun mengira bahwa bawang itulah perlambang cinta, seperti afrodisiak, untuk memperlancar hubungan bercinta...

Bagi saya, ilustrasi kisah ini sangat mengena, saat saya harus dihadapkan pada pertanyaan yang sama, entah karena saya belum pernah menemukan cinta atau karena saya belum pernah bertemu Tuhan. Namun, dengan jawaban ini, bukan berarti pula saya tak percaya dengan adanya cinta ataupun dengan adanya Tuhan, di dunia.

Bagaimana dengan kamu?

Selamat malam dan selamat berkontemplasi. Selamat mencari apa makna cinta dan apa makna Tuhan, bagimu :)

July 16, 2013

Adieu?

-Tulisan ini akan dibuat dalam bahasa Indonesia saja ya :)-

Jadi, mengapa judul tulisan ini Adieu?
Adieu dalam bahasa Perancis bermakna perpisahan.

Bukan, tulisan ini bukan sebuah tanda perpisahan, malah mungkin ini adalah sebuah tanda pembaharuan, revolusi (atau mungkin evolusi) diri saya dalam menulis? Semoga.

Sesungguhnya tulisan ini bermula dari sebuah memori acak di otak saya tentang kicauan saya di media sosial Twitter, bunyinya kira-kira begini:

"Untuk apa kita bertemu, kalau pada akhirnya kita akan terpisahkan..." #randomthought

Kalau tak salah ingat, pikiran ini muncul saat saya sedang berada di kamar mandi (yup, kamar mandi memang tempat merenung paling maksimal so far),
setelah beberapa kali saya menyaksikan perpisahan dari dua atau lebih orang yang saling mencintai (bukan hanya pacar atau pasangan, tapi juga orang tua dan sebagainya)

Saat itu, saya belum punya jawaban rasionalisasi atas pernyataan retoris random otak ini.
Saat itu, secara naif, mungkin saya lebih banyak menyalahkan siklus hidup dan rentang waktu, yang tanpa tedeng aling-aling bisa mengambil paksa jiwa raga seseorang yang kita sayangi.

Yah, saat itu.

Setelah terjadi lompatan dan lecutan dimensi dalam beberapa bulan (#lebay), semakin banyak kisah yang masuk ke bagian girus otak yang mengatur kendali berpikir dan juga memori saya (entah apa namanya)

Beberapa kisah, dimulai dari kisah picisan dalam sinema elektronik, kisah angan-angan pikiran saya tentang kehilangan, kisah Cory Monteith dan Lea Michele (so sad for them, really) hingga kisah sedih dari teman saya yang harus kehilangan ayahnya.

Di sini, lagi-lagi pikiran itu muncul, "untuk apa kita bertemu jika akhirnya harus dipisahkan?"

Melihat kicauan seorang anak perempuan yang mencoba struggling dari keadaan kehilangan, berpisah
Bukan sebuah hal yang mudah, percayalah.

Permintaannya untuk kembali ke waktu lampau, keinginan besarnya untuk bertemu lagi (walau mungkin kita tahu bahwa semua akan berpisah lagi) dan juga pergulatannya untuk menerima dan bersikap positif akan kehilangannya.

Semua itu mengaduk otak saya ini untuk mencoba menyimpulkan jawaban rasionalisasi atas pernyataan retorik itu.

Logikanya, dunia ini, hidup ini semuanya fana, tidak kekal.
Tidak ada yang bisa kita bawa, kaum manusia, dari awal proses fertilisasi kita hingga proses dekomposisi protein tubuh ini.

Begitu pula sebuah perjumpaan, pasti harus kita akhiri dengan adieu, oleh karena keharusan atau karena waktu.

Dari semua prolog yang ada di atas, akhirnya ada beberapa jawaban ngeyel dan ngelantur yang terpikirkan:
  1. Berpisah itu mengajarkan kita arti keikhlasan, menerima dan menyadari bahwa hidup itu sementara dan tidak kekal adanya
  2. Berpisah setidaknya menahan kita untuk tidak terlalu terkekang dengan keduniawian cinta?
  3. Berpisah menandakan sebuah akhir dan mungkin juga sebuah awal untuk pertemuan baru (yah, walaupun ini terlihat seperti siklus setan)
  4. Berpisah itu setidaknya menyadarkan kita untuk selalu bersikap baik, menghargai, mencintai dan menyayangi orang terdekat kita karena tak ada yang tahu kapan waktu akan memisahkan kita
  5. Berpisah itu membuat kita menghargai sang waktu?
  6. Berpisah itu bertemu yang tertunda?!
  7. Berpisah itu menguatkan kita akan akibat proses kehilangan karena berpisah bisa menimbulkan sensasi nyeri yang amat sangat
  8. Berpisah itu kadang bukan berarti kita tidak bertemu lagi, walau memang paling sering kita tidak akan bertemu lagi (atau kalau menurut berbagai sinetron dan sebagainya, kita bisa bertemu lagi di Surga ataupun Neraka, terserah kita)
Ya, kalau menurut saya, berpisah itu sebuah proses indah, bagian dari siklus hidup yang mau tak mau harus kita alami nantinya.
Kita mungkin akan berkompetisi dengan waktu dan diri sendiri.

Menghindari perpisahan? Rasanya sulit dan cenderung tak mungkin.
Mempersiapkan perpisahan? Tentu, inilah yang harus kita lakukan.

Seburuk-buruknya perpisahan itu,
There's a good in goodbye, but there's a hell in hello.

Beranikah kita untuk menghadapi perpisahan? Sudah layak dan sepantasnya.
Sudah siapkah kita menemui situasi berpisah? Tak ada yang tahu jawabnya.

Adieu!

June 24, 2013

Setapak Sriwedari

Mungkin benar adanya kalimat, "Waktu yang kan' menjawab..."
Haha, awalnya saat mendengar lagu ini, gue hanya terdiam sambil bertanya-tanya, "Apa maknanya?", "Apa enaknya?"

Tapi, lambat laun, seiring berjalannya waktu, nampakanya suatu saat saya akan berkunjung ke Taman Sriwedari sambil menapaki jalan hidup dan mungkin bertemu cinta atau bersama dengan cinta (di sana), di bawah persetujuan alam #yeslangsunggalauseketika

Tanpa berpanjang lebar, selamat menikmati alunan lagu yang diambil dari album terbaru Maliq & D'Essentials, Sriwedari (2013)

Setapak Sriwedari
Maliq & D'Essentials (2013)


Lihat langit di atas selepas hujan reda 
Dan kau lihat pelangi 
Seperti kau di sini hadirkan sriwedari 
Dalam suka duniawi

Dan kita berpijak lalu 
Kau merasakan yang sama sepertiku

Suara hati kita bergema melantunkan nada-nada 
Melagu tanpa berkata seperti syair tak beraksara

Lihat fajar merona memandangi kita 
Seakan tahu cerita 
Tentang semua rasa yang ingin kita bawa 
Tanpa ada rahasia

Dan kita melangkah untuk 
Lebih jauh lagi, lebih jauh lagi

Suara hati kita bergema melantunkan nada-nada 
Melagu tanpa berkata seperti syair tak beraksara

Setapak di taman sriwedari 
Setapak sriwedari denganmu

Dan kita berpijak lalu
Dan kita melangkah untuk 
Lebih jauh lagi, lebih jauh lagi

Suara hati kita bergema melantunkan nada-nada 
Melagu tanpa berkata 
Irama hati kita bernada,merayu tanpa bicara
Melagu tanpa berkata seperti syair tak beraksara 
Seperti puisi tanpa rima, seperti itu aku padamu

(Setapak di taman sriwedari) seperti itu aku padamu 
(Setapak sriwedari denganmu) seperti itu aku padamu

Courtesy: Lirik Kapanlagi.com